Thursday, August 26, 2010

Sambungan nota kutipan- soal hakiki dalam perjalanan

Setiap yang hidup pasti mempunyai nyawa.Pada sebuah doa, atau ketika melakukan shalat secara syariat, maka kita harus mengetahui nyawa sebuah shalat. Kalau kita tidak mengetahui nyawa sebuah shalat, maka tidak mengetahui "ruh" dari shalat itu. Intinya, maka shalat kita hanya sekedar mengugurkan kewajiban semata. (Seperti melepaskan beban yang sedia tergalas)

"Tangeh lamun sira bisa ketemu GUSTI ALLAH, yen sira ora bisa mangerteni hakekate shalat,"

Shalat adalah senantiasa hening, sepenuh tumpuan dan penyerahan pada ALLAH. Mengetahui nyawa shalat itu sendiri, kita akan berdialog dengan ALLAH. Dimanakah nyawa syariat shalat yang dilakukan itu? Nyawa shalat itu ada pada surat Al-Fatihah.Karena sebuah shalat yang kita lakukan tidak akan sah jika tidak membaca surat Al-Fatihah. Jadi, jika seseorang hanya mampu membaca surat Al-Fatihah saja, maka shalatnya sudah sah, tapi masih belum sebenarnya berdialog dengan ALLAH. Al-Fatihah itu sendiri juga mempunyai nyawa ataupun "ruh"iaitu pada ayat yang berbunyi "Iyyaaka na’budu, wa iyyaaka nasta’iin". Mengapa ayat tersebut menjadi nyawa dari surat Al-Fatihah? Karena ayat tersebut merupakan perpisahan antara doa yang dipanjatkan pada ALLAH dan doa untuk diri manusia itu sendiri yang menunjukkan kepasrahan kita sebagai makhluk. Inilah dialog Cinta Agung!

Manusia itu tidak mempunyai kekuatan apapun dan pasrah pada kuasa dari ALLAH. Jadi, berkonsentrasilah ketika membaca perpisahan antara doa penyerahan untuk ALLAH dan doa untuk kepentingan si manusia karena hal itu menunjukkan kepasrahan kita pada CINTA ABADI


- ALLAH, dimanakah ENGKAU?
+ "AKU ada di dasar hati (hati sanubari)"
- "Aku menyusul ENGKAU di dasar hati. tapi dimanakah ENGKAU?
+ Kamu ketemu AKU sampai saatnya"
ALLAH itu dekat. Seperti yang dijelaskan ALLAH sendiri dalam Al'Quran "AKU tidak jauh dari urat lehermu sendiri."

Siapa yang benar-benar mencari, bakal menemukannya. Bertemu dengan ALLAH di alam kematian saat kita hidup di dunia ini. Hidup di dunia ini selalu diperalat oleh kulit, daging, perut, otak dan lain-lainnya. Perlu makan. Perlu bekerja mencari duit. Falsafah makan dan kerja hanya jalan menunda kematian. Alam kematian, yang hidup hanyalah ruh. Ruh tidak makan, tidur, apalagi perlu duit. Ruh itu hanya kembali keAsalnya. Belajarlah mati sebelum kematian itu datang, mematikan hawa nafsu dan membersihkan segala hal yang bersifat mengotori hati.

Kematian itu memulai kembali perjalanan menuju ke Yang Maha Kuasa.
"Urip iku ibarat wong mampir ngombe (Hidup itu seperti orang yang singgah minum)

Nota kutipan- soal hakiki dalam perjalanan.

Ini adalah bahan kutipan sesetengahnya diolah semua. Bahan dalam rencana ini adalah berat, tinggi mahupun bahaya. Ataupun hanyasalah bahan hiburan jiwa...

Banyak sekali yang bisa kita pelajari dari alam. Kita bisa belajar tentang ilmu kesabaran, ilmu kesetiaan, ilmu kepasrahan, ilmu diam dan banyak ilmu lainnya. Lihatlah buktinya.

Belajar Kesabaran
Kalau hendak belajar ilmu kesabaran, maka kita hendaknya belajar pada Bumi yang kita injak setiap harinya ini. Bayangkan, bumi ini tidak pernah mengeluh meskipun diinjak-injak ratusan juta manusia. Bumi juga tidak pernah tersinggung meskipun diludahi, dikencingi bahkan menjadi tempat buangan kotoran manusia. Ia akan dengan sabar menerima semuanya. Kesabaran apalagi yang bisa mengalahkan bumi ciptaan ALLAH itu? Tapi kalau manusia berbuat semena-mena terhadap bumi, maka Sang PENCIPTA akan marah dan bumi bakal menggulung dan menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Contohnya, tanah longsor dan lainnya.

Belajar Kesetiaan
Jika hendak belajar ilmu kesetiaan, tidak ada salahnya kita belajar pada matahari. Belajar dalam hal ini bukan berarti menyembah matahari. Tidak! Tetapi kita cukup melihat, merasakan dan mencontoh kesetiaan matahari yang juga ciptaan ALLAH. Matahari adalah tempat belajar ilmu kesetiaan karena ia dengan setia senantiasa hadir dari Timur dan terbenam di Barat setiap hari.
Matahari tidak pernah ingkar janji untuk tidak terbit. Ada orang yang betah dengan mengatakan, kalau mendung bagaimana? Meski mendung, matahari tetap bersinar meski tertutup mendung. Bukankah ia terus setia?

Belajar Kepasrahan dan Menerima (Ikhlas)
Jika Anda ingin belajar ilmu kepasrahan dan menerima (ikhlas), maka tidak ada salahnya belajar pada laut. Laut yang diciptakan ALLAH adalah tempat mengalirnya beribu-ribu sungai di dunia ini. Kotoran apapun yang dilemparkan manusia lewat sungai, pasti akan mengalir ke laut. Dan laut akan pasrah menerima barang-barang buangan itu. Ia tidak pernah mengeluh sedikitpun.
Laut juga akan ikhlas menerima semua air, kotoran atau benda-benda apapun yang mengalir lewat sungai. Keikhlasan yang ditunjukkan oleh laut adalah keikhlasan “Lillahi Ta’ala” (semuanya karena ALLAH).

Belajar Ilmu dari Tumbuhan
Kita juga harus belajar dari tumbuhan. Apa alasannya? Alasannya jelas, karena tumbuhan sejak dari bibit ia hidup, ia cenderung diam. Tapi tahu-tahu lama kelamaan tumbuhan itu menjadi besar dan memberi manfaat bagi si penanamnya. Bayangkan, sebuah tumbuhan saja tahu cara menghargai dan berterimakasih pada orang yang merawatnya. Sedangkan kita manusia ini yang disebut makhluk mulia oleh ALLAH, malah tidak bisa menghargai dan berterimakasih pada ALLAH yang telah merawat kita. Apa layak kita disebut sebagai manusia Rahmatan Lil-alamin (manusia yang menjadi rahmat bagi alam semesta)?

Kalau kita menghormati alam, berarti kita juga mensyukuri apa yang telah dianugerahkan ALLAH. Bukan malah kita memperTUHAN alam.

Nota: Syahdan manusia menelek dirinya yang 7 pada fitrahnya yang berbentuk dan ditempa (dan 2 lagi anugerah, Hak ALLAH) iaitulah takkala ia memperhalusi Nafi dan Isbat, memulangkan segala ma'ani lagi ma'nawiyah nyata pada kelakuan jisim. Ia musyahadah kearah ghaibiyyah, mengharapkan mukasyafah. Catatan diatas mengingatkan bahwasanya manusia harus juga melelek anasir tanah, air , api , angin, tumbuhan, haiwan dan organisma bagi mengasimilasikan akhlak mahmudah dan mengikat akhlak mazmumah.


Dalam kitab Ma’lumatu’lhuhiyah dan kitab Hidayatul Khakaik menjelaskan bahwa manusia berasal dari 4 unsur :
1) Berasal dari sarinya Tanah, tetapi bukan tanah yang kita pijak ini
2) Berasal ari Api, tetapi bukan api yang dipergunakan untuk membakar
3) Berasal dari angin, tetapi bukan angin yang mendesau itu
4) Berasal dari air, tetapi bukan air yang meluap mengalir

Semua ini merupakan lambang saja, maka setelah mempunyai perwujudan, lalu mempunyai tujuh perkara :
1) Hayyu, artinya hidup
2) Masuklah Nur, artinya Cahaya
3) Kemasukan sir artinya Cipta
4) Kemasukan pula roh, artinya Nyawa
5) Kemasukan nafsu, artinya Angkara Murka
6) Kemasukan akal, artinya Budhi
7) Kemasukan kehendak, artinya Angan-angan

Itulah wujud yang Dzat Yang Maha Agung, sebenarnya nafi yang baik, maka diibaratkan bahwa nafi walaupun dekat tetapi tidak bersinggungan, jauh tak terduga jauhnya, dan nafi itu pasti ada tidak mungkin tidak ada. Adanya hanya karena terlihat saja.